Sudahkah Dirimu Bermanfaat Bagi Orang Lain?
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik [QS. Al-Baqarah : 195]
Ada hadits yang pendek namun sarat makna, sering diungkap dan
motivasi taktis bagi iman yang sedang turun. Dikutip Imam Suyuthi dalam
bukunya Al-Jami’ush Shaghir.
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Orang
beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang
tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling
bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Sobat, benar sekali manusia itu makhluk sosial. Tak ada yang bisa
membantah. Tidak ada satu orangpun yang bisa hidup sendiri. Semua saling
berketergantungan. Saling membutuhkan. Hanya omong kosong dibungkus
kesombongan yang nyata ketika seseorang berujar “aku bisa hidup sendiri
tanpa orang lain.
Karena saling membutuhkan, pola hubungan seseorang dengan orang lain
adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada
yang mendapat jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa
mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.
“Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan pengorbanan yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu tidak adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara yang curang dan melanggar hak orang lain.”
Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola hubungan yang
saling ridho dalam mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita akan
senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara
yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil
manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu,
mencuri, dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan dan kejahatan.
Namun yang dibahas disini bukanlah “orang tidak adil”, tetapi orang
yang luar biasa. Dimana dia adalah orang yang lebih banyak memberikan
manfaat daripada mengambil manfaat dalam bermuamalah. Orang yang seperti
ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Salah satu cirinya
adalah Dermawan. Ikhlas. Tanpa pamrih (kecuali ridho Allah semata).
Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang
lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah SAW menyebut seperti
itu? Setidaknya ada 4 alasan yang mendasari kenapa kita harus berjuang
menjadi manusia sebaik-baiknya.
1. Karena manusia tersebut akan dicintai Allah swt.
Rasulullah SAW pernah bersabda yang bunyinya kurang lebih, orang yang
paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain
(lihat hadist diatas). Adakah tipe manusia yang lebih baik dari orang
yang dicintai Allah SWT?
2. Karena ia melakukan amal yang terbaik.
Kaidah usul fiqih menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan
orang lain lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh
diri sendiri. Apalagi jika efeknya adalah lebih luas. Amal itu bisa
menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Karena itu tak
heran jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya
kepada Rasulullah SAW, amal apa yang paling afdhol untuk dikerjakan.
Ketika musim kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah SAW
berkata membuat atau membeli (untuk disedekahkan) sumur adalah amal yang
paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang
sudah sepuh dan tidak ada yang merawat, Rasulullah SAW menyebut
berbakti kepada si ibu adalah amal
3. Karena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhannya, maka itu lebih aku cintai daripada I;tikaf sebulan di masjidku ini.” (HR.Thabrani). Subhanallah, mari kita jaga dan kawal semua amal dalam keihlasan sampai akhir hayat.
3. Karena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhannya, maka itu lebih aku cintai daripada I;tikaf sebulan di masjidku ini.” (HR.Thabrani). Subhanallah, mari kita jaga dan kawal semua amal dalam keihlasan sampai akhir hayat.
4. Memberi manfaat kepada orang lain terkadang mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka atas ijin Allah swt pula, Allah swt menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik.
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Rasulullah SAW pernah ditanya, “Bagaimanakah kalau seseorang beramal kebaikan (karena Allah) lalu dipuji orang ?”. Jawab Rasulullah SAW, “(Itu bukan riya’), tetapi itu sebagai pendahuluan berita gembira bagi seorang mukmin”. (HR.Muslim)
Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke
kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang
tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk
diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayit.
Rasulullah SAW. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Karena itu
di surat At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk
memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baiknya.
Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
(QS. At Taubah : 105)
Persiapan Menuju Manusia Bermanfaat
Untuk bisa menjadi orang yang banyak manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa hal dalam diri kita.
2. Tingkatkan derajat keimanan kita kepada Allah swt.
Sebab, amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya mengharap ridho kepada
Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt.
saja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan
bisa beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.
Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk
memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin
Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah
saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki
berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah
saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam
keadaan sesulit apapun.
2. Untuk bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang
lain tanpa pamrih, kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa
serakah terhadap materi dari diri kita. Allah swt. memberi
contoh kaum Anshor. Lihat surat Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik
manusia. Memberikan semua yang mereka butuhkan untuk saudara mereka kaum
Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah mapan secara financial,
tidak terbetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah
mereka beri.
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
(Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan
mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap
apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri,
Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung (QS.Al Hasyr
: 9)
3. Tanamkan dalam diri kita logika bahwa sisa harta
yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain.
Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah SAW. kepada kita.
Suatu ketika Rasulullah SAW menyembelih kambing. Beliau memerintahkan
seoran sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah
dibagi-bagi, Rasulullah SAW. bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu
menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah SAW. mengoreksi
jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah
dibagikan.
Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibagikan. Itulah milik
kita yang hakiki karena kekal menjadi tabungan kita di akhirat.
Sementara, daging paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi sampah
jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika
kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk
beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan
habis lapuk karena waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu
menjadi intaian ahli waris kita. Maka tak heran jika dalam sejarah kita
melihat bahwa para sahabat dan salafussaleh enteng saja meng-infakkan
uang yang mereka miliki di jalan Allah swt. Sampai sampai tidak
terpikirkan untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka
sendiri.
4. Kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih kepada
orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita
memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika
kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat
ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu
jugalah yang kita dapat dari tetangga kita. Marilah ber-empati,
membayangkan apa akibat yang kita lakukan kepada orang lain. Sehingga
bisa menjadi lebih baik di kemudian hari.
5. Untuk bisa memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi.
Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran,
tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita bisa memberi
minum orang yang haus. Jika punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang
tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu beban fisik orang
lain.
Marilah kita bersosialisasi, bermuamalah sesuai yang telah
disyariatkan Allah swt. Orang yang benar-benar menuju taqwa bukanlah
sekedar rajin ibadah tetapi juga rajin “membuktikan” hasil ibadah dengan
perilaku sosial yang shaleh, bermanfaat bagi ingkungannya.
Jika sobat merasa tidak/belum/kurang bermanfaat bagi manusia lain,
bahkan selalu menjadi kerugian bagi orang lain. Wajibkan diri
introspeksi dan perbaiki diri. Karena itulah jalan pembuktian keimanan
yang sebenarnya.
Semoga bermanfaat
Posting Lebih Baru Posting Lama