Kenapa Harus Marah ?
Sobat, mengatur dan menahan nafsu marah memang gampang-gampang
susah.. Marah adalah sesuatu yang manusiawi. Wujud dari kekecewaan dan
cara untuk mempertahankan harga diri. Islam meminta kita agar
menyalurkan kemarahan secara benar dan proporsional.
Betul sekali! Kemarahan yang dibimbing keimanan akan menghasilkan
perilaku-perilaku produktif, terencana dan berorientasi untuk solusi
penyelesaian. Sedangkan kemarahan yang tidak dibimbing keimanan
dipastikan menerbitkan permusuhan, fitnah, tergesa-tergesa, sporadis
sehingga memberikan hasil akhir yang tidak jelas bahkan memperuncing
sebuah permasalahan dengan ujung penyesalan serta kekecewaan.
Seorang hakim yang tidak mampu memanage marahnya, tidak akan mampu
memutuskan perkara dengan adil. Pemimpin pemarah tidak akan sukses sebab
dia akan diikuti bukan karena kemuliaannya, tapi karena ditakuti.
Keputusannya cenderung tak adil karena seringkali emosional. Bila
berbeda pendapat, selalu ingin memuntahkan ketidaksukaannya. Singkatnya,
pemimpin yang pemarah sebenarnya sedang menunggu waktu untuk jatuh.
Seorang ibu yang pemarah akan menularkan budaya buruk terhadap
anak-anaknya. Begitu pun pasangan suami-isteri yang tidak memiliki
ketenangan jiwa. Ia tidak akan mampu melayarkan laju bahtera hidupnya.
Karena, masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan kecil
pasangannya sehingga menutup rajutan-rajutan kebaik-kebaikan yang sudah
terlewati.
Rasulullah saw sendiri sebagai teladan kita juga pernah marah. Namun
kemarahan beliau dibimbing oleh iman, sehingga beliau selalu
proporsional. Misalnya, beliau marah ketika ada seorang imam yang
menyulitkan makmumnya,
Dari Abu Mas’ud RA, ia berkata : Ada seorang laki-laki datang
kepada Nabi SAW, lalu berkata, “Sesungguhnya aku menjadi terlambat
karena shalat Shubuh yang diimami oleh si Fulan, karena shalatnya
terlalu panjang”. Perawi berkata : Maka saya sama sekali belum pernah
melihat Rasulullah SAW sangat marah dalam memberi nasehat seperti pada
hari itu. Perawi berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai sekalian
manusia, sesungguhnya diantara kalian ada orang-orang yang membuat lari,
maka barangsiapa diantara kalian shalat mengimami orang banyak,
hendaklah meringankan, karena diantara mereka ada yang sakit, ada orang
yang sudah tua, dan ada orang yang mempunyai keperluan”. (HR. Bukhari)
Beliau juga pernah marah ketika mendapati kejorokan didalam masjid.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, ia berkata : Ketika Nabi SAW shalat,
beliau melihat dahak di arah qiblat masjid, (setelah selesai shalat)
beliau mengeriknya dengan tangan beliau dan marah, kemudian beliau
bersabda, “Sesungguhnya seseorang diantara kalian apabila sedang shalat,
sesungguhnya Allah berada di hadapannya. Maka jangan sekali-kali ketika
shalat ia berdahak ke arah depannya”. (HR. Bukhari)
Beliau sempat marah ketika perang Hunain berakhir karena kaum Anshar
merasa kecewa dan menganggap Rasul tidak adil. Penyebabnya adalah
pembagian ghanimah yang sebagian besar diberikan kepada kaum Muhajirin,
orang-orang yang baru masuk Islam di Mekkah, dan bukan kepada kaum
Anshar. Rasulullah kala itu memerah mukanya sampai-sampai berkata,
“Jikalau Allah dan Rasul-Nya dianggap tak adil, maka siapa lagi yang
adil. Padahal mereka pulang dengan hanya membawa harta, sedangkan kalian
pulang dengan membawa Rasulullah.”
Kesimpulannya, silakan marah, asalkan proporsional dan dibimbing oleh
iman (bukan oleh hawa nafsu). Malah akan menjadikan ‘aneh’ ketika
seseorang yang mengaku Islam sebenarnya tetapi tidak bereaksi ketika
Agama dan simbol-simbol agama dihina atau dilecehkan, ketika kebenaran
diputarbalikkan menjadi kesalahan/kedustaandan ketika kehormatan
keluarga dan hargadiri diinjak-injak atau difitnah.
Trus gimana sih carannya memperhatikan dan menahan kemarahan yang sedang muncul setiap saat tersebut ?
1. Dalam beberapa hadist Nabi, jika kita marah dalam keadaan
berdiri, maka untuk meredam kemarahan sebaiknya kita duduk. Kalau marah
dalam keadaan duduk, maka untuk meredam kemarahan sebaiknya kita
berbaring. Jika tetap marah dalam keadaan berbaring, maka sebaiknya kita
segera berwudhu (lalu sholat sunnah).
Dari Abu Wail Al-Qaashsh, ia berkata, “Saya pernah datang kepada
‘Urwah bin Muhammad As-Sa’diy, lalu ada seorang laki-laki yang berbicara
kepadanya yang membuatnya marah, maka ia bangkit lalu berwudlu.
(Setelah berwudlu) kemudian ia berkata : Ayahku mencerita-kan kepadaku
dari kakekku yaitu ‘Athiyah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya marah itu dari syetan dan sesungguhnya syetan itu
diciptakan dari api, dan hanyasanya api itu dipadamkan dengan air, maka
apabila salah seorang diantara kalian marah hendaklah ia berwudlu”.(HR.
Abu Dawud)
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda
kepada kami, “Apabila salah seorang diantara kalian marah dalam keadaan
berdiri maka hendaklah ia duduk, niscaya akan hilang marahnya. Dan jika
belum hilang marahnya, maka hendaklah ia berbaring (tiduran)”. (HR. Abu
Dawud)
2. Berpikir sebelum merespon kemarahan. Buat jeda sebentar untuk
berpikir apakah kita layak marah atau tidak. Apalagi jika terjadi
“marah vs marah” bisa dipastikan menimbulkan stress dan dosa-dosa
berikutnya.
3. Sabar dengan memperbanyak syukur dan merenung (muhasabah)
tentang banyaknya nikmat Allah kepada kita. Orang yang pemarah
seringkali menunjukkan kepribadian yang kurang bersyukur dan menjadi
sahabat syetan. Sedangkan para pencari Syurga akan berpikir jernih
ketika terbakar amarah.
Dari Abu Darda’, ia berkata : Ada seorang laki-laki berkata
kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya atas
suatu amal yang bisa memasukkan saya ke surga”. Rasulullah SAW bersabda,
“Jangan marah, maka bagimu surga”. (HR. Thabarani),.
4. Lembutkan hati dengan banyak beribadah. Ibadah akan membuat
hati lembut dan sabar, sehingga intensitas kemarahan juga akan menurun.
Ketika kemarahan membuncah, lekaslah istighfar memohon bantuan Allah swt
dan ta’awudz
Dari Sulaiman bin Shurad, ia berkata : Ketika kami duduk di sisi
Nabi SAW, ada dua orang saling mencaci. Lalu salah seorang diantara
keduanya menjadi marah, merah mukanya. Kemudian Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat seandainya ia mau
mengucapkannya pastilah hilang marah itu darinya, seandainya ia
mengucapkan : A’uudzu billaahi minasy-syaithoonir rojiim (Aku berlindung
kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk)”. Kemudian orang-orang
berkata kepada laki-laki tersebut, “Tahukah kamu apa yang disabdakan
oleh Nabi SAW tadi ?”. Orang yang marah itu menjawab, “Aku ini tidak
gila !”. (HR. Bukhari)
5. Bergaullah dengan orang-orang yang hatinya lembut dan tidak
pemarah sebagai tandingan dari lingkungan keras dan pemarah di
sekeliling kita. Sehingga kita bisa menjadi orang kuat yang sebenarnya.
Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“Orang yang kuat itu bukanlah orang yang kuat dalam bergulat, tetapi
orang yang kuat itu ialah orang yang bisa menahan dirinya ketika marah”.
(HR. Bukhari)
6. Ingatlah selalu! Jiwa pemaaf adalah salah satu ciri orang bertaqwa. Ciri para penghuni syurga kelak.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang yang menafqahkan
(hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. [QS. Ali 'Imran : 133 - 134]
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi
maaf.” (QS.42:37)
Kita tidak ingin seseorang yang sudah bersalah menjadi terkulai
karena kezaliman kita. Kita mengharapkan taubat dan kebangkitan untuk
menjadi lebih baik. Jadikan jiwa pemaaf sebagai simbol utama keimanan
kita.
Semoga bermanfaat
Posting Lebih Baru Posting Lama