Selamat Datang di Situs Resmi "Belajar Al Qur'an & As Sunnah"

Kenapa Harus Marah ?

Sobat, mengatur dan menahan nafsu marah memang gampang-gampang susah.. Marah adalah sesuatu yang manusiawi. Wujud dari kekecewaan dan cara untuk mempertahankan harga diri. Islam meminta kita agar menyalurkan kemarahan secara benar dan proporsional.

Betul sekali! Kemarahan yang dibimbing keimanan akan menghasilkan perilaku-perilaku produktif, terencana dan berorientasi untuk solusi penyelesaian. Sedangkan kemarahan yang tidak dibimbing keimanan dipastikan menerbitkan permusuhan, fitnah, tergesa-tergesa, sporadis sehingga memberikan hasil akhir yang tidak jelas bahkan memperuncing sebuah permasalahan dengan ujung penyesalan serta kekecewaan.

Seorang hakim yang tidak mampu memanage marahnya, tidak akan mampu memutuskan perkara dengan adil. Pemimpin pemarah tidak akan sukses sebab dia akan diikuti bukan karena kemuliaannya, tapi karena ditakuti. Keputusannya cenderung tak adil karena seringkali emosional. Bila berbeda pendapat, selalu ingin memuntahkan ketidaksukaannya. Singkatnya, pemimpin yang pemarah sebenarnya sedang menunggu waktu untuk jatuh. Seorang ibu yang pemarah akan menularkan budaya buruk terhadap anak-anaknya. Begitu pun pasangan suami-isteri yang tidak memiliki ketenangan jiwa. Ia tidak akan mampu melayarkan laju bahtera hidupnya. Karena, masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan kecil pasangannya sehingga menutup rajutan-rajutan kebaik-kebaikan yang sudah terlewati.
Rasulullah saw sendiri sebagai teladan kita juga pernah marah. Namun kemarahan beliau dibimbing oleh iman, sehingga beliau selalu proporsional. Misalnya, beliau marah ketika ada seorang imam yang menyulitkan makmumnya,
Dari Abu Mas’ud RA, ia berkata : Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, lalu berkata, “Sesungguhnya aku menjadi terlambat karena shalat Shubuh yang diimami oleh si Fulan, karena shalatnya terlalu panjang”. Perawi berkata : Maka saya sama sekali belum pernah melihat Rasulullah SAW sangat marah dalam memberi nasehat seperti pada hari itu. Perawi berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya diantara kalian ada orang-orang yang membuat lari, maka barangsiapa diantara kalian shalat mengimami orang banyak, hendaklah meringankan, karena diantara mereka ada yang sakit, ada orang yang sudah tua, dan ada orang yang mempunyai keperluan”. (HR. Bukhari)

Beliau juga pernah marah ketika mendapati kejorokan didalam masjid.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, ia berkata : Ketika Nabi SAW shalat, beliau melihat dahak di arah qiblat masjid, (setelah selesai shalat) beliau mengeriknya dengan tangan beliau dan marah, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya seseorang diantara kalian apabila sedang shalat, sesungguhnya Allah berada di hadapannya. Maka jangan sekali-kali ketika shalat ia berdahak ke arah depannya”. (HR. Bukhari)
Beliau sempat marah ketika perang Hunain berakhir karena kaum Anshar merasa kecewa dan menganggap Rasul tidak adil. Penyebabnya adalah pembagian ghanimah yang sebagian besar diberikan kepada kaum Muhajirin, orang-orang yang baru masuk Islam di Mekkah, dan bukan kepada kaum Anshar. Rasulullah kala itu memerah mukanya sampai-sampai berkata, “Jikalau Allah dan Rasul-Nya dianggap tak adil, maka siapa lagi yang adil. Padahal mereka pulang dengan hanya membawa harta, sedangkan kalian pulang dengan membawa Rasulullah.”
Kesimpulannya, silakan marah, asalkan proporsional dan dibimbing oleh iman (bukan oleh hawa nafsu). Malah akan menjadikan ‘aneh’ ketika seseorang yang mengaku Islam sebenarnya tetapi tidak bereaksi ketika  Agama dan simbol-simbol agama dihina atau dilecehkan, ketika kebenaran diputarbalikkan menjadi kesalahan/kedustaandan ketika kehormatan keluarga dan hargadiri diinjak-injak atau difitnah.
Trus gimana sih carannya memperhatikan dan menahan kemarahan yang sedang muncul setiap saat tersebut ?
1. Dalam beberapa hadist Nabi, jika kita marah dalam keadaan berdiri, maka untuk meredam kemarahan sebaiknya kita duduk. Kalau marah dalam keadaan duduk, maka untuk meredam kemarahan sebaiknya kita berbaring. Jika tetap marah dalam keadaan berbaring, maka sebaiknya kita segera berwudhu (lalu sholat sunnah).
Dari Abu Wail Al-Qaashsh, ia berkata, “Saya pernah datang kepada ‘Urwah bin Muhammad As-Sa’diy, lalu ada seorang laki-laki yang berbicara kepadanya yang membuatnya marah, maka ia bangkit lalu berwudlu. (Setelah berwudlu) kemudian ia berkata : Ayahku mencerita-kan kepadaku dari kakekku yaitu ‘Athiyah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya marah itu dari syetan dan sesungguhnya syetan itu diciptakan dari api, dan hanyasanya api itu dipadamkan dengan air, maka apabila salah seorang diantara kalian marah hendaklah ia berwudlu”.(HR. Abu Dawud)
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepada kami, “Apabila salah seorang diantara kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaklah ia duduk, niscaya akan hilang marahnya. Dan jika belum hilang marahnya, maka hendaklah ia berbaring (tiduran)”. (HR. Abu Dawud)
2. Berpikir sebelum merespon kemarahan. Buat jeda sebentar untuk berpikir apakah kita layak marah atau tidak. Apalagi jika terjadi “marah vs marah” bisa dipastikan menimbulkan stress dan dosa-dosa berikutnya.
3. Sabar dengan memperbanyak syukur dan merenung (muhasabah) tentang banyaknya nikmat Allah kepada kita. Orang yang pemarah seringkali menunjukkan kepribadian yang kurang bersyukur dan menjadi sahabat syetan. Sedangkan para pencari Syurga akan berpikir jernih ketika terbakar amarah.
Dari Abu Darda’, ia berkata : Ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya atas suatu amal yang bisa memasukkan saya ke surga”. Rasulullah SAW bersabda, “Jangan marah, maka bagimu surga”. (HR. Thabarani),.
4. Lembutkan hati dengan banyak beribadah. Ibadah akan membuat hati lembut dan sabar, sehingga intensitas kemarahan juga akan menurun. Ketika kemarahan membuncah, lekaslah istighfar memohon bantuan Allah swt dan ta’awudz
Dari Sulaiman bin Shurad, ia berkata : Ketika kami duduk di sisi Nabi SAW, ada dua orang saling mencaci. Lalu salah seorang diantara keduanya menjadi marah, merah mukanya. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat seandainya ia mau mengucapkannya pastilah hilang marah itu darinya, seandainya ia mengucapkan : A’uudzu billaahi minasy-syaithoonir rojiim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk)”. Kemudian orang-orang berkata kepada laki-laki tersebut, “Tahukah kamu apa yang disabdakan oleh Nabi SAW tadi ?”. Orang yang marah itu menjawab, “Aku ini tidak gila !”. (HR. Bukhari)
5. Bergaullah dengan orang-orang yang hatinya lembut dan tidak pemarah sebagai tandingan dari lingkungan keras dan pemarah di sekeliling kita. Sehingga kita bisa menjadi orang kuat yang sebenarnya.
Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang kuat itu bukanlah orang yang kuat dalam bergulat, tetapi orang yang kuat itu ialah orang yang bisa menahan dirinya ketika marah”. (HR. Bukhari)
6. Ingatlah selalu! Jiwa pemaaf adalah salah satu ciri orang bertaqwa. Ciri para penghuni syurga kelak.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang yang menafqahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [QS. Ali 'Imran : 133 - 134]
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS.42:37)
Kita tidak ingin seseorang yang sudah bersalah menjadi terkulai karena kezaliman kita. Kita mengharapkan taubat dan kebangkitan untuk menjadi lebih baik. Jadikan jiwa pemaaf sebagai simbol utama keimanan kita.

Semoga bermanfaat

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply

Den Ryono. Diberdayakan oleh Blogger.

Dan Janganlah Kamu Mengikuti Apa yang Kamu Tidak Mempunyai Pengetahuan Tentangnya (Ilmunya). Sesungguhnya Pendengaran, Penglihatan dan Hati, Semuanya itu akan diminta Pertanggungan Jawabnya. (QS. Al-Isra : 36)

Kutinggalkan Pada Kamu Sekalian 2 Perkara Yang Kamu Tidak Akan Sesat Apabila Kamu Berpegang Teguh Pada Keduanya, Yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya [[HR. Malik Dalam Al-Muwaththa' Juz 2 Hal 899]]