Jiwa yang Condong Kepada Kejahatan
Dalam menegakan kebenaran dari Allah SWT, salah satu yang harus kita
perangi adalah diri kita sendiri. Allah mengilhami manusia dengan
kebaikan dan keburukan. Keburukan dalam diri kita adalah hasrat untuk
bekerja dengan setan. Al-Qur`an menjelaskan kedua sisi jiwa kita tersebut,
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (TQS.asy-Syams: 7-10)
Kita harus waspada terhadap sisi keburukan yang ada dalam diri kita
sendiri dan selalu menjaga hati dalam menentang bahaya dari dalam diri.
Mengabaikan sisi keburukan jiwa kita tidak akan menolong kita lepas dari
keburukannya. Akan tetapi, kita harus menyucikan jiwa seperti yang
diajarkan dalam Al-Qur`an.
Dengan demikian, kaum mukminin tidak pernah menyatakan bahwa diri
mereka suci, tetapi tetap berhati-hati terhadap hasutan dan kesia-siaan
jiwa mereka. Pengakuan Yusuf a.s., “Dan aku tidak membebaskan diriku
(dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya,
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,“ (TQS. Yusuf: 53) harus selalu diingat sebagai contoh yang baik untuk bersikap dengan tepat.
Manusia seharusnya mengawasi kelemahan jiwanya dan berbuat kebaikan serta mengekang nafsu, sebagaimana sebuah ayat tegaskan, “… manusia itu menurut tabiatnya kikir….” (TQS.an-Nisaa`: 128) .
Ke arah mana keserakahan mengarahkan manusia, juga tercatat dalam
Al-Qur`an. Hawa nafsu adalah yang mendorong salah satu anak Adam
membunuh saudaranya, “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap
mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia
seorang di antara orang-orang yang merugi.” (TQS. al-Maa`idah: 30).
Kecenderungan yang sama yang menyebabkan Samiri menyesatkan pengikut
Musa ketika beliau tidak ada. Samiri berkata, “… dan demikianlah nafsuku membujukku.” (TQS. Thaahaa: 96)
Satu-satunya cara mencapai keselamatan adalah dengan Mengekang atau Memanage Nafsu,
“… Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. al-Hasyr: 9)
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah
tempat tinggal(nya).” (TQS. an-Naazi’aat: 40-41)
Perjuangan melawan hawa nafsu adalah pertempuran yang terbesar bagi
seorang muslim. Mereka harus membatasi emosi dan keinginannya, yang
mana yang dapat diterima dan yang mana yang tidak dapat diterima. Ia
harus melawan dorongan nafsu dalam jiwanya, seperti keegoisan, iri hati,
sombong, dan serakah.
Jiwa kita mempunyai kecenderungan untuk menyenangi
hasrat dan keinginan yang sia-sia. Mereka membisikkan kepada kita bahwa
kita akan merasa puas ketika kita memperoleh harta lebih dan mendapatkan
status yang lebih tinggi dalam masyarakat. Walaupun demikian, semua
kesenangan ini tidak pernah memuaskan orang-orang yang beriman dalam
arti yang sebenarnya. Semakin banyak harta yang kita miliki, semakin besar keinginan untuk memiliki yang lebih banyak lagi. Dengan beragam cara, jiwa kita mengarahkan kita agar berbuat seperti halnya binatang buas yang tidak pernah merasa puas.
Jiwa kita akan merasa puas jika menyerahkan diri kita sepenuhnya
hanya kepada Allah, tidak kepada hawa nafsu yang rendah. Kita diciptakan
untuk menyembah Allah, “ … Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati kita menjadi tenteram.” (TQS. ar-Ra’d: 28). Tidak ada lagi yang dapat memberikan ketenangan dan kepuasan pada diri setiap muslim selain itu.
Itulah sebabnya, orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya memiliki kepuasan jiwa. Hal ini terjadi karena mereka menjauhkan diri dari kejahatan, melawan nafsu jiwa mereka, dan membaktikan diri hanya kepada Allah.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (al-Fajr: 27-30).
Kesimpulannya :
Sebagai manusia biasa kita harus bisa mengenali diri kita sendiri.
Tekan terus sisi buruk, dan kembangkan sisi yang baik. Nafsu sangat
dibutuhkan manusia, kata kuncinya adalah pengendalian diri. Contoh
simpelnya adalah : sudah tahu kalo menunda-nunda zakat akan menyusahkan
diri, kenapa nggak sekarang juga walau hanya sedikit.
Sudah tahu, mempunyai nafsu terhadap lawan jenis. Kenapa ndak menikah
saja? umur cukup, rizki ada malah pacaran bergaul bebas. Padahal Zina
termasuk dosa besar dan wajib ‘dijauhi’ apalagi didekat - dekati.
Sem0ga Bermanfaat
Posting Lebih Baru Posting Lama